Bagaimana jika Anda dilarang menyanyi di kamar mandi dengan alasan suara Anda akan menimbulkan imajinasi yang meresahkan masyrakat di republik ini?
Relakah Anda dilarang menyanyi di kamar mandi hanya karena imajinasi telah membuat banyak orang tidak tahu diri?
Sudikah nasib Anda ditentukan oleh orang banyak tanpa alasan masuk akal tentang suara nyanyian Anda setiap kali mandi?
Mungkinkah Anda hidup dalam masyarakat yang mungkin saja suatu ketika melarang Anda menyanyi di kamar mandi?
***
Buku ini merupakan kumcer. Berisi 14 cerita pendek yang cukup ringan, lucu, tapi sarat makna. Ditulis dengan gaya bahasa yang khas Seno sekali. Kadang terlalu gamblang membicarakan hal-hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat. Tapi, itulah Seno.
Semua cerpen di sini asyiknya menggunakan bahasa yang tidak terlalu nyastra. Sehingga saya bisa membacanya di bus,tanpa perlu konsentrasi berlebih seperti yang biasanya saya lakukan kalau membaca karya Seno yang lain.
Salah satu cerpen di buku ini berjudul “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” yang juga merupakan judul utama dari kumcer ini. Berisi cerita tentang seorang gadis, Sophie namanya, pendatang di sebuah gang sempit yang dilarang menyanyi oleh ibu-ibu di sekitar kosan tempat dia tinggal. Ibu-ibu itu protes lantaran para suami mereka menjadi dingin di atas ranjang. Kenapa para bapak menjadi dingin? Tentu saja karena setiap sore, para bapak itu dengan setia menikmati suara-suara yang dibunyikan Sophie saat ia mandi. Bunyi ritsluiting celana yang dibuka, bunyi air yang menyiram tubuh Sophie, bunyi gesekan handuk, semua bunyi itu ternyata menimbulkan fantasi berlebihan bagi para bapak di gang itu. Apalagi bila Sophie bernyanyi, wah, makin liar imajinasi bapak-bapak itu, karena Sophie memiliki suara yang sexy.
Hal ini tentu membuat ibu-ibu gang merasa cemas. Para suami enggan bercinta. Mereka sudah lebih dulu melepaskan hasratnya saat mendengar Sophie mandi. Ibu-ibu akhirnya melaporkan kejadian ini kepada Pak RT. Mendengar hal tsb, Pak RT tentu tidak begitu saja percaya. Mana mungkin ada orang mandi yang bisa sampai menimbulkan imajinasi mesum seperti itu? Apalagi kalau ia bernyanyi? Tapi, yah, namanya juga Pak RT, akhirnya toh beliau manut saja waktu para ibu mendesak Pak RT untuk mengusir Sophie dari kampong itu karena dianggap merusak keharmonisan rumah tangga warga sekitar.
Sebagai orang bijak, Pak RT bukannya mengusir Sophie, tapi hanya menyuruh Sophie untuk tidak boleh menyanyi lagi di kamar mandi. Oke. Sophie menurut. Sebagai pendatang baru di gang itu, ia manut saja. Meskipun sebenarnya dia heran kenaoa menyanyi saja dilarang? Kalau pikiran bapak-bapak itu mesum, memang salah dirinya?
Sore besoknya, ia mandi tanpa menyanyi. Tapi bapak-bapak tetap masih begitu-begitu saja. Ibu-ibu tidak tahan lagi. Mereka kembali mendatangi Pak RT. Kali ini, ibu-ibu ingin Pak RT benar-benar mengusir Sophie. Duh, ruwet sekali permasalahan ini. Sophie, si kaum minoritas di tempat itu, merasa terjajah dengan tindakan para ibu-ibu yang mengatur-atur hidupnya.
Akankah Sophie diam saja? Atau malah membalas semua kekesalannya pad aibu-ibu gang?
***
Tidak terlalu lama saya menyelesaikan buku ini. Seperti yang saya bilang, bahasa di buku ini tidak terlalu berat dan nyastra. Kalau boleh saya bandingkan dengan buku-buku Seno seperti “Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian” tentu buku ini jauh dari kata “berat”.
Mengusung tema di kehidupan sehari-hari. Ada yang menceritakan tentang kehidupan pencopet yang ingin membahagiakan pacarnya yang seorang biduan. Ada pula cerita tentang laki-laki kaya yang ingin menikahi seorang pelacur yang dulu pernah ditidurinya sejak ia masih remaja dan belum punya apa-apa. Atau cerita sesederhana dering telepon yang tidak kunjung diangkat karena semua orang sibuk.
Tema-tema simple seperti itu bisa dikemas oleh Seno dengan sangat apik. Melihat reputasinya di dunia jurnalistik, tentu sudah tidak perlu diragukan lagi bagaimana kualitas tulisannya. Tapi menurut saya, tulisan Seno sebenarnya tidak sesimpel kelihatannya. Banyak sindiran halus yang disisipkan dalam setiap ceritanya. Kalau kita jeli, kita bisa tahu maksud dari cerita ini, berbicara tentang hal besar apa. Seno hanya menganalogikan dengan hal-hal lain karena mungkin pada tahun itu, 1995, kebebasan berbicara masih terbatas. Cerdas!
Judul Buku : Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Galang Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar